Al-Quran adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril. Al-Quran ditulis dalam bahasa Arab yang memiliki kekhasan dan keindahan tersendiri. Salah satu kekhasan bahasa Arab adalah adanya titik dan harakat yang membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk yang sama, namun pengucapannya berbeda.
Titik dan harakat adalah tanda baca yang diberikan pada huruf-huruf Arab untuk menunjukkan cara membaca dan mengucapkannya dengan benar. Titik adalah tanda bulatan yang diletakkan di atas atau di bawah huruf, sedangkan harakat adalah tanda garis atau lengkungan yang diletakkan di atas atau di bawah huruf.
Titik dan harakat ternyata baru ada jauh setelah Rasulullah SAW wafat. Pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin, Al-Quran ditulis tanpa menggunakan titik dan harakat. Ini karena para sahabat Nabi yang menulis Al-Quran sudah menguasai bahasa Arab dengan baik dan tidak memerlukan tanda baca untuk membaca Al-Quran.
Namun, seiring dengan perkembangan Islam dan penyebarannya ke berbagai wilayah dan bangsa, terutama yang bukan berbahasa Arab, maka timbul kebutuhan untuk memberikan tanda baca pada Al-Quran agar dapat dibaca dengan mudah dan benar oleh semua orang. Selain itu, tanda baca juga berguna untuk menghindari kesalahan membaca dan menghafal Al-Quran.
Tahap pertama: Pemberian harakat pada Al-Quran. Harakat adalah tanda baca yang menunjukkan vokal atau bunyi hidup pada huruf Arab. Ada empat macam harakat, yaitu fathah (baris atas), kasrah (baris bawah), dhommah (baris depan), dan sukun (tanda mati). Harakat ini diperkenalkan oleh Abul Aswad Ad-Dawly, seorang ahli bahasa Arab dari Basrah, pada masa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H). Abdul Aswad Ad-Dawly (Ad-Duwali) diminta oleh Muawiyah untuk memberikan tanda baca pada Al-Quran agar dapat dibaca dengan mudah oleh orang-orang non-Arab yang masuk Islam. Abdul Aswad Ad-Dawly menggunakan titik berwarna merah untuk menandai fathah, titik berwarna hijau untuk menandai kasrah, titik berwarna kuning untuk menandai dhommah, dan titik berwarna hitam untuk menandai sukun.
Tahap kedua: Pemberian titik pada Al-Quran. Titik adalah tanda baca yang membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk yang sama, namun pengucapannya berbeda. Misalnya, huruf ba (ب), ta (ت), tsa (ث), nun (ن), ya (ي), dan sebagainya. Titik ini diperkenalkan oleh Nashr bin 'Ashim dan Yahya bin Ya'mar, dua ahli qira'at dari Madinah, pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86 H). Nashr bin 'Ashim dan Yahya bin Ya'mar diminta oleh al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak saat itu, untuk memberikan solusi terhadap masalah al-'ujmah, yaitu kesalahan membaca huruf-huruf yang memiliki bentuk yang sama. Nashr bin 'Ashim dan Yahya bin Ya'mar kemudian menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i'jam, yaitu pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf-huruf tersebut. Mereka menggunakan metode al-ihmal dan al-i'jam, yaitu memberikan satu titik di atas atau di bawah huruf-huruf tertentu, sedangkan huruf-huruf lainnya diabaikan tanpa titik.
Tahap ketiga: Pemberian tanda-tanda lain pada Al-Quran. Tanda-tanda lain adalah tanda baca yang menunjukkan hal-hal selain vokal atau bunyi hidup pada huruf Arab. Ada beberapa macam tanda-tanda lain, seperti syaddah (tanda tebal), mad (tanda panjang), hamzah (tanda putus), waqaf (tanda berhenti), ibtida' (tanda mulai), jazm (tanda sambung), wasl (tanda lepas), dan sebagainya. Tanda-tanda lain ini diperkenalkan oleh para ulama dan ahli qira'at dari berbagai daerah dan mazhab dalam kurun waktu yang cukup panjang, mulai dari abad ke-2 H hingga abad ke-4 H. Tujuan dari pemberian tanda-tanda lain ini adalah untuk memperjelas makna dan hukum bacaan Al-Quran serta untuk mengakomodir ragam qira'at yang ada.
Demikianlah sejarah penemuan titik dan harakat Al-Quran yang merupakan salah satu bentuk ijtihad para ulama dalam menjaga kemurnian kalam Allah SWT dari segala kesalahan dan penyimpangan. Semoga kita dapat menghargai usaha-usaha mereka dengan membaca Al-Quran dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.