Seri Tafsir Quran ala Koran (6) : Al-Fatihah (1)
Apakah, sejak azali, Allah telah menamai Dzat-Nya sendiri dengan sebutan Allah (Lafzh al-Jalalah), ataukah nama tersebut hanya panggilan yang dibuat makhluk saat mereka bermaksud menyeru Dzat yang menciptakan mereka?
Apakah keberadaan Lafzh Al-Jalalah hadir bersamaan dengan wujud Allah (yang tidak dapat diukur dengan waktu itu), ataukah nama tersebut diciptakan oleh-Nya bersamaan dengan saat Dia menciptakan Makhluk (barangkali dengan tujuan agar makhluk dapat mengenali-Nya), dan dengan demikian berarti pada zaman azali itu Tuhan bersifat hampa dari Nama (tidak Nama Allah, bahkan tidak juga sebutan Tuhan)?
Ini adalah pertanyaan klasik nan rumit, yang memicu lahirnya perdebatan di kalangan ulama. Sama klasik dan rumitnya dengan pertanyaan apakah lafzh jalalah itu merupakan bentukan dari lafazh lain (mustaq/murtajal) ataukah ia merupakan sebuah kata dasar yang genuine dan berdiri sendiri?
Di sisi lain, pertanyaan di atas juga berhubungan dengan soal apakah mungkin, di tempat lain di luar jazirah arab, Allah dikenal melalui Nama yang lain, sebutan-sebutan dalam bahasa lokal? Sang Hyang Widi, umpamanya?
Jawaban dari pertanyaan di atas sepertinya akan memungkasi diskusi tentang nama-nama Tuhan.
Lagi-lagi, dalam hal ini, setidaknya terdapat dua kelompok besar. Sayyid Bakri Syatha, dalam I'anatut Thalibin, melansir keduanya sebagai Madzhab Basrah dan Madzhab Kufah.
Kedua kelompok ini, terutama dalam kajian kebahasaan (linguistik), memang acapkali berbeda pendapat. Ulama Madzhab Kufah umpamanya, menengarai bahwa asal derivatif dari setiap kata adalah fiil (kata kerja). Sebaliknya ulama Madzhab Basrah menilai isim masdar (kata benda) lebih tepat disebut sebagai kata dasar.
Ini mirip dengan pertanyaan dalam bahasa indonesia: apa kata dasar dari kata "makanan"? Kalau kita mengundang ulama Kufah, mereka kemungkinan akan menjawab "makan". Dan kalau yang kita ajak diskusi adalah ulama Basrah, jawaban yang kita dapat adalah "pakan".
Perdebatan yang setara terjadi dalam diskusi ihwal Lafzh Al-Jalalah. Bagi ulama Kufah, kurang lebih, tiap bahasa merupakan produk budaya. Itu berarti lafazh atau kata apapun yang ada di dalam bahasa tidak bisa lepas dari keberadaan manusia, berikut konteks sosial yang melatarbelakanginya. Itu juga berarti bahwa lafzh al-jalalah, betapapun kata itu merujuk pada Dzat yang Maha Agung, hanya mungkin muncul dalam kebudayaan manusia. Artinya, ia lahir setelah lahirnya kemanusiaan.
Apakah gunung, kambing, kutu rambut, asap dan bintang gemintang, yang barangkali berbicara satu sama lain menggunakan bahasa yang tidak dipahami oleh manusia, juga menyeru Tuhan dengan lafzh al-jalalah!?
Lafazh al-jalalah, juga sebutan-sebutan lain untuk Tuhan, dengan demikian diciptakan oleh manusia, praktis pada saat mereka menyadari keberadaan Tuhan; mengenal Allah. Nama bisa jadi berbeda, tapi Dzat yang dirujuk jelas sama, sebutlah Dia Sang Pencipta.
Pendapat ini mengingatkan kita pada kalimat masyhur William Shakespeare, "what's in a name?", Apalah arti sebuah nama? Nama-Nama Tuhan, termasuk lafazh al-jalalah, hanya merupakan mekanisme manusiawi untuk membedakan fenomena satu dengan fenomena yang lain. Seorang Bapak yang memiliki seratus anak barangkali lupa satu persatu nama anaknya, tapi ia jelas tahu kalau dia pernah memiliki anak.
Ulama Basrah menentang gagasan ini. Buat mereka, pandangan semacam itu konyol karena kalau saja Allah tidak menciptakan manusia, apakah itu berarti Dia akan tetap tidak bernama dan tidak bersifat?
Bagi ulama Basrah, pandangan aliran Kufah di atas mustahil secara ideologis, tidak sesuai dengan aqidah Islam. Itulah sebabnya Syeikh Bakri Satha kemudian menyebut bahwa aliran Basrah dalam hal ini diterima oleh mayoritas ahlus sunnah wal jama'ah, sementara pendapat aliran Kufah dianggap sebagai menyimpang (ahl al-i'tizal).
Lafz Al-Jalalah dengan demikian sudah ditetapkan dan sudah memiliki makna sejak zaman azali. Ada atau tidak ada manusia, Allah akan tetap wujud. Menurut pendapat ini, dari situ kemudian Allah mengajarkannya secara langsung kepada Nabi Adam, dan lalu memerintahkan kepadanya untuk memperkenalkan kepada makhluk yang lain.
Argumen utama aliran Basrah sebetulnya jelas dan tegas, apakah ada Dzat lain yang layak untuk menyandang Nama Allah? Ini didasarkan pada sebuah ayat Al-Quran, hal ta'lamu lahu samiyya (apakah engkau mengetahui dzat lain yang diberi nama dengan lafazh Allah selain Allah!?).
Dari sini kemudian lahir konsep bahwa "tidak ada tuhan yang haq untuk disembah kecuali Allah". Ini adalah terjemah yang tepat untuk kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah.
Itu artinya, manusia bisa saja mengkreasi imaji-imaji tentang tuhan, berikut nama-nama yang mereka lekatkan pada tuhan-tuhan tersebut, tapi yang paling layak untuk disebut sebagai Tuhan, yang paling tepat untuk disembah, hanya Dzat yang menyebut Dirinya dengan nama Allah saja.
Kenapa lafzh al-jalalah ini jadi amat penting?
Sebab orang akan tetap disebut kafir tanpa mengikrarkan "tidak ada tuhan selain Allah". Kalimat ini tidak bisa diubah dengan misalnya, "tidak ada tuhan selain ar-Rahman atau al-Hakim", meski kedua nama tersebut juga masuk dalam deratan Nama Allah.
Lafzh Al-Jalalah sangat eksklusif. Ia bukan saja sebuah nama yang merujuk pada Dzat Tuhan, tetapi juga berkait lekat dengan pola ritual, barangkali juga pola muamalah, yang membedakan antara Islam dengan keyakinan lain.
Itulah mengapa, setidaknya dalam Madzhab Syafii, takbiratul ihram dalam shalat tidak dapat diganti dengan kalimat umpamanya "ar-rahimu akbar" atau malah "tuhanu akbar". Di dunia tarekat, lafazh al-jalalah pun memiliki kedudukan yang amat penting.
Imam Al-Razi mengetengahkan hikmah kenapa lafzh al-jalalah bermakna amat penting dan eksklusif, dibanding nama-nama yang lain:
Perhatikan bahwa lafazh Allah (terdiri dari susunan huruf alif-lam-lam-ha), apabila dihilangkan alif-nya (jadi lam-lam-ha) akan berbunyi lillah, dan itu masih merujuk pada Dzat Allah, seperti dalam ayat wa lillahi junudus samawati wal ardh (QS. Al-Fath: 4).
Berikutnya, apabila dihapus alif-lam (jadi lam-ha saja), dan berbunyi lahu, masih akan tetap merujuk kepada Allah, seperti dalam ayat lahu maqalidus samawati wal ardh (QS. Az-Zumar: 63).
Lalu apabila alif-lam-lam, dan jadi cuma bisa dibaca hu, itu juga masih merujuk pada Allah, seperti dalam ayat Qul huwa llahu ahad (QS. Al-Ikhlas: 1). Wawu pada ganti huwa sebetulnya merupakan tambahan saja, seperti ketika ditambah mim jadi hum, atau ditambah mim-alif jadi huma, sebab yang bertungsi sebagai kata ganti sebetulnya hanya latazh hu.
Wallahu a'lam bis shawab.
Rumah Cahaya,
Lukman Hakim Husnan